Oleh: Dr Agus Muchsin, M. Ag (Wakil Dekan Bidang AUPK Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Parepare)
IAIN PAREPARE ---- Narekko purani riaccinaungi passiring bolana tauwe tempeddinni rinawa-nawa maja
Artinya :
Kalau kita sudah berteduh di bawah atap rumahnya seseorang, sudah tidak boleh lagi dibenci (diusahakan ia binasa).
Pappaseng to riolo kali ini menarik untuk didalami karena di satu sisi menanamkan sikap menghargai budi orang lain bisa berdampak positif, namun sebaliknya di sisi lain berdampak negatif ketika diperhadapkan dengan ahli retorika dengan kemampuan pertunjukan aksi penguasaan panggung untuk mengelabui mata, atau sebut saja sandiwara politik.
Diskusi ini marak bukan hanya di kalangan akademisi konsentrasi politik, tapi hampir semua stratifikasi sosial menjadikannya sebagai isu hangat seperti di pasar, pangkalan ojek, pos roda, warung kopi, kampus, masjid dan lain-lain.
Konklusi dari fenomena diskusi bebas tersebut berkisar pada kreadibilitas para pelakon politik yang sepertinya telah menanamkan kebaikan.
"Tempedding inawa-nawa maja" secara leksikal dalam pemaknaan lontara, sederhananya adalah tidak boleh berharap agar ia celaka. Term ini mendeskripsikan bahwa etika bugis juga mengenal klasifikasi antara perbuatan oleh hati dan perbuatan badan/jasad.
Nawa-nawa dalam perspektif Islam biasa ditemukan beberapa term antara lain, اهمية الي السوء ( pengharapan pada keburukan ) dan سوء الظن ( prasangka buruk ). Apapun namanya, keduanya merupakan bentuk perbuatan hati (العملية القلب). Artinya sangat tidak ber etika bagi orang Bugis untuk berbuat jahat/buruk pada orang yang telah menanamkan budi atas dirinya, terlebih jika dalam bentuk fisik ( العملية البدنية ).
Klasifikasi bentuk amaliah di atas, dapat dikaji melalui disiplin ilmu tasawuf, selama ini dianggap tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw, bahkan dianggap tidak berdasar. Diskusi tentang ini memang cukup panjang namun bukan berarti bahwa praktik tasawuf sebagai asumsi bahwa ia tidak ubahnya dengan mistik, lalu kemudian dilakukan penolakan secara totalitas.
Amalan hati yang awalnya sangat dipelihara oleh ahli tasawuf (sufi), sepertinya juga disadari oleh ahli fikhi (fuqaha). Ketika berbicara tentang niat, fuqaha hanya mengidentikkan dengan al Qashd (tujuan), bahwa segala sesuatu itu tergantung pada tujuannya (الامور بمقاصدها). Fuqaha menilai bahwa tujuan itu dianggap sebagai pelanggaran jika ada indikator perbuatan berbarengan dengan pembuktian (فرينة), lebih jelasnya pembahasan ini ditemukan pada kajian tujuan unifikasi dan penetapan hukum dari aspek subyeknya (مقاصد المكلف).
Berbeda dengan ulama tasawuf (sufi), gerak hati yang begitu lembut dan sangat rahasia tanpa indikator perbuatan fisik dari "nawa-nawa kaja" pun dilarang, karena perbuatan ini merupakan penyakit hati dan mematikan hati.
Betul bahwa orang Bugis mudah percaya dan tidak akan pernah mau merusak meski dalam nawa-nawa ja, bagi mereka yang telah menanamkan kebaikan pada dirinya, namun satu kali melakukan keburukan akan menghilangkan kepercayaannya.
Ciceng mi tu aruntukeng jambang ko lalenge. Ko engka tai iruntu tulu ikomi reaseng (satu kali engkau kedapatan membuang kotoran di jalanan maka berikutnya ditemukan kotoran maka tuduhan jatuh atas dirimu).
Lontara paseng ini sepertinya kembali teruji saat terjadinya pergeseran nilai sebagai dampak dari bangkitnya kekuatan ekonomi di era ini, menggiring pada materialistik dengan kesan individualustik. Kepentingan sesaat untuk sebuah jabatan, pangkat dan harta menggiring agar melakoni pentas sandiwara meski hanya kebohongan, menawarkan kebaikan dengan kedok kepalsuan agar terhindar dari "nawa nawa ja".
Allah SWT berfirman dalam QS. Albaqarah(2): 89
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ ۖ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنصَرُونَ
Terjemahnya:
Mereka menukar kehidupan akhirat dengan dunia, maka Allah tidak meringankan adzab bagi mereka dan tidak akan ditolong
Imam al Thabari menyebutnya sebagai bentuk sikap kecintaan berlebihan pada ni'mat dunia yang sedikit, sementara kecintaan ni'mat akhirat yang banyak diminimalkan ( استحبوا قليل النيا علي كثير الاخرة ). Parahnya adalah ketika didominasi oleh rasionalisme secara filosofis membatasi hidup pada alam forma, alam idea diabaikan. Padahal dalam eksatologi, idea merupakan awal dari segala forma.
Pesan bijak melalui lontara di atas, sebaiknya tetap dipelihara dan dijadikan referensi, sikap terhadap orang yang menanamkan kebaikan tidak langsung bisa diterima melainkan butuh klarifikasi sebelumnya melalui sifat aninireng (wara) dengan penuh pertimbangan, dengan tetap berdasar pada akulturasi agama dan budaya Bugis. (*)
Editor : Alfiansyah Anwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar