OPINI
By. Budiman
Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam IAIN Parepare
Alquran mesti diyakini bahwa prinsip-prinsip universalnya akan selalu shâlih li kulli zamân wa makân (relevan untuk setiap waktu dan tempat).
Diktum ini berarti bahwa problem sosial keagamaan di era kontemporer tetap akan dapat dijawab oleh Alquran dengan cara melakukan kontekstualisasi penafsiran terus menerus.
Mengapa? Karena Alquran bukanlah kitab yang diturunkan hanya untuk orang-orang dulu yang hidup di zaman Nabi, tetapi ia juga diperuntukkan bagi orang-orang sekarang dan bahkan orang-orang di masa mendatang.
Ini juga berarti bahwa meskipun selama ini sudah banyak tafsir yang ditulis oleh para mufassir, tidak perlu ada sakralisasi terhadap hasil penafsiran. Sebab, sakralisasi penafsiran Alquran tidak saja dapat disebut sebagai ”syirik intelektual”, tetapi juga menjadikan Alquran seperti ”mumi”.
Ada ungkapan yang viral terutama di kalangan penafsir Alquran: al-nash al-qur’ânî tsâbit[un]
wa madhmûnuhû mutaharrik[un], artinya teks qur’ani itu statis, sementara kandungan, pesan, dan maknanya dinamis.
Itulah sebabnya, menurut pandangan Dr. Abdul Mustaqim dalam bukunya Epistemologi Tafsir Kontemporer, dibutuhkan kecerdasan memilah terminologi tafsir dalam dua kategori: tafsir sebagai produk, dan tafsir sebagai proses.
Bagi umat Islam, Alquran selain sebagai kitab suci, ia juga merupakan kitab petunjuk. Karena itu, ia selalu dijadikan rujukan dan mitra dialog dalam menyelesaikan problem kehidupan.
Salah satu problem yang selalu menjadi perbincangan hangat setiap akhir tahun masehi, khususnya di Indonesia, adalah soal apakah ucapan ”Selamat Natal” itu dibenarkan dalam Islam?
Sejatinya ulama terbagi dalam dua mainstream (arus utama) terkait soal ini. Pertama, banyak ulama yang melarangnya. Kedua, tidak sedikit juga yang membolehkannya, dengan catatan-catatan tertentu.
Memang, jawaban terhadap persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama, maka tidak
semudah membalik telapak tangan, karena hukum agama tidak dapat dilepaskan dari konteks, kondisi dan situasi serta pelaku masing-masing.
Apalagi Alquran harus dibaca dan dipahami secara al-muntijah (kritis dan produktif), bukannya dibaca secara al-mayyitah (mati), atau model pembacaannya hanya at-tikrâriyyah (repetitif/pengulangan), bahkan pembacaannya sering bermuatan at-talwîniyyah al-mughridhah (ideologis-tendensius).
Bagi ulama yang melarang ucapan ”Selamat Natal” mendasarkan pandangannya pada kesan dan makna populer ucapan itu, yaitu pengakuan terhadap Ketuhanan Yesus Kristus. Jelas ini bertentangan dengan akidah Islam, paling tidak dapat menimbulkan kesalapahaman.
Ucapan selamat atas kelahiran (natal) ‘Îsâ ’alaihissalâm memang termaktub dalam Alquran, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran agama Kristen yang keyakinannya terhadap ‘Îsâ al-Masîh berbeda dengan keyakinan Islam. Dengan argumentasi ini, lahir larangan dan "fatwa" tentang haramnya mengucapkan ”Selamat Natal”.
Bagi ulama yang lain membolehkan ucapan ”Selamat Natal” berargumen bahwa saat Alquran mengabadikan ucapan ”Selamat Natal” yang pernah diucapkan ‘Îsâ al-Masîh (QS. Maryam [19]:33):
Terjemahnya:
”Keselamatan besar dan kesejahteraan (semoga tercurah) atas (diri)-ku pada hari aku dilahirkan, dan pada hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan (untuk) hidup (kembali)” harus dikaitkan dengan ucapan beliau yang lain sebagaimana terekam dalam QS. Maryam [19]:30:
Terjemahnya:
“Sesunggunnya aku (adalah) hamba Allah, Dia pasti akan memberiku al-Kitab (Injil) dan Dia pasti akan menjadikan aku seorang nabi.” Argumentasi lainnya adalah bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita?
Jika demikian halnya, apa salahnya mengucapkan ”Selamat Natal” selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud Alquran. Karena itu, mengucapkan ”Selamat Natal” kepada siapa saja penganut Kristen, melalui SMS (Short Message Service), WA (WhatsApp), Email, Messenger, Instagram, Telegram, FB (Facebook), Twitter, dan juga termasuk menghadiri kegiatan yang bukan ritual dapat dibenarkan, dengan catatan memahami maksudnya menurut Alquran, demi kemurnian akidah.
Larangan dan atau kebolehan ucapan ”Selamat Natal”, dalam pandangan penulis, masing-masing memiliki argumentasi sesuai situasi dan kondisi yang mengitarinya. Bagi yang melarang lebih pada pertimbangan dalam rangka memelihara akidah karena kekhawatiran adanya kerancuan pemahaman. Sementara bagi yang membolehkan, memberi catatan selama pengucapnya arif-bijaksana dan tetap memelihara akidahnya sesuai maksud dalam Alquran serta tidak menimbulkan kesalapahaman masyarakat awam.
Kekeliruan memahami teks Alquran kerap dijumpai dalam masyarakat, misalnya pemahaman keliru tentang makna jihad atau pemahaman aneh segelintir orang mengenai pemaknaan shalat. Mereka berdalih: ”shalat itu kan hanya doa, kalau sudah berdoa berarti shalat telah dilaksanakan.”
Inilah yang sering penulis ’teriakkan’ dalam setiap kesempatan pertemuan dengan mahasiswa, bahwa ”salah paham” terhadap teks-teks agama, khususnya teks Alquran akan melahirkan ”paham salah”.
Walhasil, mari mendudukkan persoalan ucapan ”Selamat Natal” ini pada tempatnya secara proporsional dengan tetap merujuk kepada ucapan ”Selamat Natal” yang diucapkan ‘Îsâ al-Masîh yang diabadikan dalam QS. Maryam [19]:33):
Terjemahnya:
”Keselamatan besar dan kesejahteraan (semoga tercurah) atas (diri)-ku pada hari aku dilahirkan, dan pada hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan (untuk) hidup (kembali).”
Namun, perlu ditegaskan bahwa sebelum mengucapkan ”Selamat Natal”, harus lebih awal memahami bahwa ‘Îsâ al-Masîh adalah hamba Allah (’Abd Allâh, bukan tuhan) yang diperintahkan shalat, zakat, berbakti kepada ibu, tidak bersifat angkuh dan tidak pula celaka sebagaimana terbaca dalam QS. Maryam [19]:30-32):
Terjemahnya:
“Dia (‘Îsâ putra Maryam, yang ketika itu masih bayi) berkata: “Sesungguhnnya aku (adalah) hamba Allah, Dia pasti akan memberiku al-Kitab (Injil) dan Dia pasti akan menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia (juga) telah menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana pun aku berada, dan Dia memerintahkan aku (melaksanakan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup. Dan berbakti kepada ibuku dan Dia tidak menjadikan aku orang yang sombong, lagi celaka.”
Dua arus utama pendapat mengenai ucapan ”Selamat Natal” yang disebutkan, dalam pandangan penulis, benar dan dapat diterima sesuai sudut pandang masing-masing. Ibarat hidangan yang disajikan dengan cara prasmanan, tamu undangan disilakan memilih salah satunya sesuai selera masing-masing, tentu dengan mempertimbangkan mafsadah-mashlahah-nya.
Perlu diunderline, bahwa ada Fatwa MUI Pusat sejak tahun 1981 saat Prof. Buya HAMKA menjabat Ketua Umum yang mengharamkan PERAYAAAN NATAL BERSAMA. Saat itu Buya melepas jabatan Ketua Umum MUI karena 'berseteru' dengan oknum menteri penganut Islam yang ikut dalam perayaan natal umat kristiani.
Namun dalam fatwa MUI itu tidak terlihat satu kalimat pun yang mengharamkan ucapan "Selamat Natal". Bahkan berkembang isu saat ini dikesankan seolah-olah Buya secara pribadi mengharamkan ucapan selamat natal. Padahal tidak seperti itu. Adanya klarifikasi dari cucu Buya on social media bahwa kakeknya sama sekali tidak pernah mengharamkan itu semakin membuyarkan isu miring tersebut.
Karenanya, elok rasanya setiap kali mengakhiri tahun masehi kita fokus memuhâsabah (mengoreksi) diri ketimbang sibuk mempersoalkan ucapan selamat natal.
Kalaupun harus memperbincangkannya, maka ada baiknya rujuklah ke ucapan ”Selamat Natal” ‘Îsâ al-Masîh yang diabadikan dalam Alquran sebagaimana telah disebutkan sambil melakukan qirâ’ah mu’âshirah muntijah (pembacaan kontemporer-produktif) agar Alquran fungsional dan pesan-pesannya membumi.[]